Selasa, 19 Maret 2013

Upacara Erau Pelas Benua Guntung

Pertama kali datang ke Bontang, Kalimantan Timur, semangat ingin tahu masih sangat menggebu-gebu. Jadi walaupun kepala masih diperban akibat bocor setelah terpelanting dari sepeda, saya tetap semangat saat diajak meliput upacara Erau Pelas Benua Guntung. Mengapa dibelakangnya ditambah kata “Guntung”? Ini menunjukkan perbedaan wilayah dengan Erau Pelas Benua provinsi yang setiap tahunnya dilakukan oleh Kesultanan Kutai di Tenggarong.

Guntung merupakan satu-satunya bagian Kota Bontang yang sebagian besar warganya masih keturunan Kutai. Letaknya pun didekat perbatasan wilayah Kutai Timur. Namun seiring perkembangan, wilayah ini mulai bercampur dengan suku-suku lainnya, baik dari Kalimantan maupun luar Kalimantan. Tak heran kalau di Bontang, upacara Erau hanya diadakan di Guntung setiap tahunnya.

Erau berasal dari kata Eroh, yaitu ramai dan penuh suka cita. Pelas berarti membersihkan wilayah mereka dari unsur-unsur negatif. Caranya dengan melakukan penyembelihan binatang yang kemudian darahnya dipercikan ke permukaan bumi, sebagai tanda syukur atas rejeki yang diberikan oleh Maha Pencipta. Karena itu pelaksanaannya biasanya dilakukan setelah panen.

Saat memasuki wilayah upacara, wangi dupa sudah mendominasi lapangan. Setelah mengadakan upacara penyambutan dan pidato dari perwakilan Kesultanan Kutai, upacara dimulai dengan melakukan tarian pemanggil Dewa di panggung upacara yang telah dipenuhi sesajen berupa hasil panen warga. Di tengahnya, duduk seorang dukun pada singgasana berhias janur kuning kelapa. Setelah membaca mantra, sang dukun terlihat ‘kerasukan’ lalu mengajak para undangan untuk berkeliling menari Tarian Dewata.

Sesudahnya, semua penari ikut mengawal sang dukun membacakan mantra disebilah batang pisang yang dibungkus seperti mayat. Bilah itu lalu diikatkan di tiang upacara dan tetap di sana selama upacara berlangsung. Konon kabarnya, tiang itu dapat bergerak sendiri karena telah dimasuki roh Dewata untuk merestui kegiatan ini.

Sebagai ‘orang luar’ upacara ini sangat menarik, sebab tak hanya menampilkan tarian khas Dayak dan Kutai, tapi juga ada ritual penyalaan obor dari bambu yang sangat panjang, lalu atraksi menyumpit dari bambu panjang kecil yang merupakan keahlian masyarakat Dayak pada umumnya.

Hebohnya lagi, diakhir upacara para peserta akan disiram air dari dua mobil pemadam. Kalau saja saya tidak diingatkan teman, mungkin saya akan pulang basah kuyup akibat semprotan air dari dua sisi panggung. Menurutnya, seharusnya semua tamu ikut berbasah-basah sebagai simbol pembersihan diri dari unsur negatif. 

Tapi berhubung bocor di kepala saya masih terbuka, tentu mengganti perban yang basah kuyup ke rumah sakit akan menjadi tontonan tersendiri. Setidaknya, saat itu saya sudah merasa bahagia karena bisa menyaksikan salah satu upacara masyarakat Kutai yang hampir punah.

4 komentar:

  1. wew, beruntungnya, disini saya beloman pernah tuh liat ada yg bikin neh acara :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Balikpapan mungkin jarang, karena di sana lebih banyak suku Banjar daripada Kutai. Kalo mau liat Erau, ke Tenggarong aja. Satu jam perjalanan naik angkot dari Samarinda. Tapi jangan percaya sama tukang ojeknya ya, menipu semua hahahaa...

      Hapus