Di
mana tempat memberi hidup di situlah tempat paling cocok untuk ditinggali,
bahkan di tengah laut sekalipun. Berangkat dengan tekad mencari nafkah, lebih
dari dua puluh tahun lalu Pak Ido bersama ke empat temannya mengarungi Selat
Makassar dan memutuskan tinggal di tengah Laut Bontang. “Kami tinggal di sini
merantau mencari hidup, awalnya yang tinggal di sini hanya berempat saja,”
kisah lelaki paruh baya asal Mamuju, Sulawesi Barat.
Berbekal
papan dari kayu bakau, Pak Ido dan rekannya membangun rumah beratapkan rumbia. “Setelah
ada uang sedikit-sedikit, barulah kami bisa membeli atap seng,” terang Ketua RT
yang kini disebut Tihi-tihi. Kini, Tihi-tihi memiliki penduduk yang cukup
banyak, yaitu sekitar 48 KK dengan 30 rumah kayu. “Penduduk di sini semakin
banyak, selain keluarga juga masih banyak pendatang yang ikut tinggal di sini,
tapi semuanya berasal dari Mamuju dan Bugis,” tambahnya.
Meski
jarak Tihi-tihi dengan Pesisir Bontang tidak terlalu jauh, namun penduduk
Tihi-tihi tidak berminat untuk tinggal di daratan. “Di daratan kami tidak punya
kerjaan, karena matapencaharian dari laut. Karena laut yang memberi kami hidup,
maka kami lebih suka tinggal di laut,” kata Pak Ashar yang juga salah satu pendiri
perkampungan ini. “Di darat kami tidak punya tempat. Jangankan rumah, tanah
sedikit saja harus beli.”
Walau Laut Bontang termasuk tenang dan tidak
berombak tinggi, namun penduduk yang bermukim di tengah laut tetap tak luput
dari bahaya terjangan angin kencang. Kerusakan yang terjadi tentu tak bisa dielak,
seperti rusaknya ata-atap rumah yang terhempas angin. “Dulu sempat 20 rumah
rusak diterjang angin, tak hanya atap rumbia tapi atap seng pun tetap terlempar,”
papar Pak Ido yang rumahnya tetap asli seperti 20 tahun lalu dan beratap
rumbia.
Layaknya
sebuah perkampungan di darat, perkampungan terapung ini telah memiliki
fasilitas umum yang cukup lengkap, seperti jembatan yang terbuat dari kayu
Ulin, sekolah dan juga masjid. Penampungan air tawar pun telah disediakan,
umumnya berkat bantuan berbagai perusahaan maupun Pemerintah Kota Bontang. “Untuk
air tawar, kami beli dari darat lalu ditampung bak besar. Masyarakat kalau mau
pakai harus beli lagi perjerigen,” ungkap Pak Ido.
Menurut
keduanya, awalnya seluruh penduduk Tihi-tihi mengandalkan hidup dari menangkap
ikan. Tapi sekarang ikan sulit didapat, sehingga mereka beralih ke budidaya rumput
laut. “Mencari ikan untuk makan sehari-hari saja,” tukas Pak Ashar dan Pak Ido
yang mengharapkan bantuan penambahan tempat penjemuran rumput laut. “Kalau
sedang panen, semua jembatan dan halaman rumah penuh dengan rumput laut
sehingga sering terinjak-injak,” jelas keduanya.
Tihi-tihi
hanyalah salah satu perkampungan terapung di Laut Bontang, perkampungan serupa kini
mulai banyak ditemui dan letaknya menyebar tak jauh dari Pesisir Bontang,
seperti Selamba, Melahi, dan Selangan. Dibanding Tihi-tihi, Selangan telah lebih
dulu ada. “Selangan sudah ada sebelum Tihi-tihi, sudah ada sejak orang-orang
tua yang sekarang sudah meninggal semua,” tutur Pak Refni yang termasuk
pendatang di perkampungan ini.
Yang
berbeda dari Tihi-tihi, jumlah penduduk Selangan lebih sedikit dan berasal dari
berbagai suku, meski sebagian besarnya berasal dari Suku Bajau. Selain nelayan
dan budidaya rumput laut, penduduk Selangan lebih menggantungkan diri dari
hasil Keramba Ikan Kerapu dan Baronang. “Hasil menangkap ikan dan rumput laut
sangat kecil, jadi banyak yang beralih usaha,” lanjut Pak Refni yang mengaku
cukup sering menerima tamu dari Bontang yang ingin menyantap ikan bakar.
Selangan
memang telah ditetapkan sebagai lokasi Wisata Keramba, tak heran bila
perkampungan terapung ini banyak menerima tamu yang datang berkunjung dan memesan
ikan bakar. “Tak hanya ikan yang dari keramba, ikan dari laut pun akan kami
carikan. Tapi harus beberapa hari sebelumnya, karena sekarang mencari ikan
tidak gampang,” ucap pria 30-an tahun yang tetap bertahan tinggal di Selangan
karena tidak kuat membeli tanah, “Lokasi di Bontang Kuala saja sekarang sudah
mahal,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar