Senin, 18 Maret 2013

Jalan Menurun


Ketika turun dari Gunung Cikuray, Garut, saya banyak menerima pelajaran yang sedikit banyak mengubah cara pandang selama ini. 

"Jalan menurun akan terasa lebih berat daripada menanjak," tutur Mba Jenny saat menemani saya yang jalan terseok-seok dan menahan sakit akibat engsel dengkul kanan  seperti mau copot. Menuruni G. Cikuray dengan hanya satu kaki, sangat tak mudah. Meski sudah dibantu tongkat, saya bisa tiba-tiba saja jatuh tersungkur tanpa sebab.

Ia melanjutkan, di saat mendaki kita berjalan penuh semangat, berlomba-lomba menuju puncak. Di saat jalan menurun, kondisi badan sudah lelah, stamina rendah, dan membutuhkan kerja keras ekstra karena harus menahan tarikan gravitasi serta menopang berat keril di belakang.

Begitu juga pada kehidupan, umumnya kita lebih menikmati saat-saat meniti karir. Meski perlu kerja keras, namun tahu apa yang harus dikejar dan berharap bisa sampai di puncak. Tapi saat kondisi karir dan kesehatan menurun, akan dirasakan sebagai beban yang berat. "Saya bukan termasuk orang yang lemah saat harus menjalaninya," itulah tekad saya dalam hati. "Saya bisa melewati tahapan ini, meskipun harus menahan sakit dan menggunakan satu kaki."

Satu kaki, itu perkara lain. Tapi dalam kasus ini, saya jadi tahu bagaimana sulitnya kalau menghadapi kehidupan sendirian. Bagaimana sulit dan lambannya proses yang harus saya lalui dibanding mereka yang bisa turun dengan dua kaki. Dengan kata lain, memiliki pasangan untuk saling membantu. Ini semakin memotivasi semangat, andai Tuhan menakdirkan saya menjalani kehidupan sendirian, saya harus mampu. Tak boleh mengeluh, tidak juga menangis. Peluh, perih, lelah, adalah harga yang harus saya bayar atas keputusan itu. Dan sekali lagi, akan saya buktikan, bahwa saya mampu menghadapinya. Harus mampu.

Salah satu kesulitan lainnya adalah saat harus jujur pada diri sendiri. Jujur kalau saya lelah, jujur kalau saya sebenarnya malu mendapatkan bantuan yang akan menyusahkan orang lain, dan jujur bahwa saya sangat kesakitan. Tapi keikhlasan dan ketulusan, membuat saya akhirnya bisa mengakui keadaan tersebut. Menghargai perhatian orang lain dengan menyadari bahwa dengan menerima uluran tangan, artinya juga membantu semua orang untuk melewati proses turunan ini dengan lebih cepat.

Jujur mengakui apa yang dirasakan pada orang lain, adalah pelajaran tersendiri. Selama ini saya selalu berusaha menyembunyikan perasaan pada orang lain. Cerita hidup saya adalah milik saya sendiri, hal yang tabu untuk diketahui orang lain. Begitu juga saat saya sayang dan mencintai orang lain, saya akan memendamnya baik-baik.

Saya akhirnya mampu membuktikan, bahwa jujur akan membantu hati dan pikiran. Try to let go dengan tak malu mengungkapkan perasaan, apapun hasilnya. Ternyata luar biasa, hati saya plong. Seperti sumbat yang terlepas, saya bahkan menerima apapun yang terjadi dengan lapang hati meski harus kehilangan sekalipun. Nothing to lose...

Tak ada seorang pun yang mampu menjalani cobaan sendirian. Setiap orang butuh bantuan orang lain, yang perlu saya lakukan adalah menghargai dan berterima kasih dengan menerima uluran itu. Saya tak sendirian, meski mereka tak tahu apa yang terjadi, setidaknya mereka tetap menemani dan mengembalikan senyum di wajah saya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar