Senin, 19 September 2016

Novel Setelah 17 Tahun : Kekerasan Verbal Lebih Sering Dilakukan Orang Berpendidikan Tinggi



Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, hampir 90 persen anak Indonesia mengalami kekerasan verbal baik dari keluarga maupun lingkungannya. Kekerasan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan psikis yang dilakukan melalui perkataan yang bersifat negatif dan menjatuhkan mental seseorang.

Kekerasan psikis seperti kekerasan verbal, sangat sulit dibuktikan walaupun dampaknya pada korban sama besar dengan kekerasan fisik. “Seorang anak yang mengalami kekerasan verbal di keluarganya, biasanya akan tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepercayaan diri rendah,” terang psikolog Joice Manurung, C.Ht, Cha.

Kekerasan verbal atau verbal abuse, lanjut Joice, juga dapat dilakukan oleh suami atau istri. Biasanya, kekerasan verbal ini dilakukan sebagai cara untuk memperlihatkan kekuasaan. “Perkataan yang diucapkan pun tidak selalu bersifat kasar, bisa jadi secara halus namun efeknya menjatuhkan mental. Oleh karena itu, umumnya pelaku kekerasan verbal adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.”

Psikolog yang juga konsultan dan terapis ini, tampil sebagai pembicara dalam acara peluncuran buku “Setelah 17 Tahun” karya Noorca M. Massardi pada Sabtu, 17 September lalu. Dalam novel ketujuhnya, wartawan senior yang juga sastrawan ini mengangkat sebuah kisah nyata mengenai seorang wanita yang berani bersikap setelah 17 tahun terperangkap dalam pernikahan penuh kekerasan verbal yang dilakukan suaminya.

Menikah, ternyata tak menjadikan Putri Maulida – tokoh utama di novel ini, keluar dari jeratan kekerasan verbal yang sebelumnya dilakukan oleh kakak laki-lakinya sendiri. Hinaan dan celaan kakaknya, menjadikan Putri tumbuh menjadi wanita yang rendah diri. Kondisi ini diperparah dengan sikap kedua orangtuanya yang kurang perhatian karena sibuk bekerja.

Suaminya, Alfian, ternyata tak lebih baik dari sang kakak. Selama 17 tahun, Putri berusaha menahan semua penderitaan batin tanpa dapat berbuat apa-apa. Namun ketika sikap suaminya tidak juga berubah setelah anak-anak lahir, dan saat sikap suaminya mulai mempengaruhi kejiwaan anak-anaknya, pada saat itulah akhirnya Putri memantapkan sikapnya untuk bercerai.

Novel psikologis ini ditulis layaknya catatan harian yang berisi tumpahan perasaan sang tokoh. Dalam buku ini, Noorca menggugah pembaca untuk ikut merasakan dilema yang dialami oleh tokoh utamanya. Bagaimana perang batin yang dialami Putri untuk terus bertahan hingga 17 tahun. Sebuah kisah yang menyentuh dan diharapkan dapat membuka mata hati dan inspirasi pembacanya untuk ikut menghentikan kekerasan verbal. 

(Foto dok: Rayni Massardi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar