
Rumah itu dari luar terkesan biasa saja,
tapi begitu kami (saya, Gasrul, Darto dan Alm. Bang Nuku Sulaeman) memasuki
ruang tamunya, foto lukisan Bung Karno hampir memenuhi dinding menyita
perhatian. Bukan itu saja, di meja sudut pun foto-foto Bung Karno bersama
almarhum begitu mendominasi. Bisa saya simpulkan, beliau benar-benar seorang
Soekarnois sejati.
Kami disambut oleh salah seorang putrinya -
yang kata Darto cantik, duduk di salah satu sofa di ruangan itu. Sementara Pak
Omar Dhani ketika itu (sekitar tahun 1998) terlihat tertatih mendatangi kami.
Perawakan beliau kurus dengan kulit putih berkeriput, rambut yang hampir
memutih semua, serta pipi cekung dengan mata yang seakan lelah.
"Saya tidak mau diwawancara,"
katanya, sambil menunjuk saya yang memegang rekorder. "Kalau pun saya mau
bercerita, semuanya off the record," tukasnya lagi, tegas. Maka saya pun
berusaha menyembunyikan rekorder di bawah meja dengan sembunyi-sembunyi
memencet tombol 'rekam'. "Kalau bukan karena dia (menunjuk ke Bang Nuku),
saya pasti tidak mau menemui kalian," ketusnya lagi.
Meski berkali-kali menatap curiga pada saya
yang tangannya memegang rekorder di bawah meja, beliau pun menceritakan
kisahnya selama di penjara. Sayangnya, suara Pak Omar Dhani begitu lemah dan
lembut sekali - benar-benar tipikal orang Jawa, sehingga rekorder saya seakan
menyerah untuk merekam suaranya. Kasetnya benar-benar sulit untuk di dengar.
Mungkin beliau juga telah mengantisipasi kenakalan saya, sehingga suaranya
dikecilkan sedemikian rupa.
Tapi ada beberapa hal yang bisa saya ingat
dari perbincangan dengan beliau, intinya beliau tetap merasa tidak melakukan
apa yang dituduhkan rezim Soeharto padanya. Menurut Pak Omar, beliau ada di
Halim karena mendapat telepon langsung dari Bung Karno yang memintanya
menerbangkan beliau.
"Sebagai seorang Laksamana, saya harus
patuh pada perintah atasan, apalagi oleh Panglima Besar. Kalau saya menolak
perintah, itu malah salah," kira-kira begitulah yang beliau katakan. Menurutnya, saat itu tengah malam dan beliau
tidak mendapatkan penjelasan apapun tentang apa yang tengah terjadi. Jadi tak
heran bila Pak Omar tetap berkeras kalau dirinya tak ada hubungan apapun dan
tidak bersalah atas peristiwa G 30 S, meski harus divonis hukuman mati
sekalipun.
Selain itu saya agak lupa dan statusnya pun
tetap off the record, yang pasti, Pak Omar pernah berkata ingin mengisahkan
peristiwa yang sebenarnya di buku putih Angkatan Udara. Waktu itu saya sempat
lihat bukunya, beliau telah memiliki draf-nya, katanya tinggal di cetak. Beliau
juga mengatakan ingin membersihkan namanya, entah apakah itu kesampaian atau
tidak.
Tapi dari semua yang beliau sampaikan kepada
kami, yang paling menyentuh saya adalah beliau tidak merasa sakit hati atas apa
yang telah ditimpakan padanya. Mendekam selama berpuluh tahun di penjara dan
tetap bersyukur mendapat kesempatan untuk menghirup kehidupan bebas di usia
senja.
Kini beliau juga telah lepas dari penjara
dunia, selamat jalan Pak Omar Dhani, pertemuan dengan Anda termasuk sebuah
kenangan historis tersendiri dalam hidup saya. Semoga Allah SWT membalas
ketulusan hatinya, aamiin.
Satu adegan kecil yang tak bisa dilupa,
adalah saat Gasrul tiba-tiba bangun dan pergi ke belakang rumah di
tengah-tengah cerita Pak Omar. Kami semua kaget melihat tingkahnya, terutama
saat Pak Omar yang langsung menunjuknya dan berteriak “Hey! Kamu mau kemana?!”
Ternyata Gasrul mau ke kamar kecil, tapi
entah mengapa ia tidak ijin dulu tapi malah ngeluyur ke belakang. “Memangnya
kamu tau kamar mandinya di mana?! Tanya dulu, jangan main nyelonong masuk
saja!” bentak Pak Omar, sementara saya dan Darto hampir tak bisa menahan tawa.
Tak hanya bentakan Pak Omar, Gasrul pun
mendapat pelototan marah Bang Nuku. Saat pulang, Bang Nuku memarahi Gasrul
karena berlaku tak sopan di rumah seorang priyayi. “Beliau itu bangsawan, kamu
orang Jawa tapi kok ga ada sopan santunnya,” begitu kira-kira omelan Bang Nuku.
Tapi saya akui keberuntungan Gasrul, karena
dia jadi bisa tur melihat-lihat rumah Pak Omar. Soalnya kamar mandinya ternyata
ada di lantai dua, meskipun Pak Omar menyuruhnya menunggu putrinya mengantar,
tapi Cah Badung itu tetap saja ngeluyur sendiri naik ke lantai dua. Membuat Pak
Omar dan kami semua geleng-geleng kepala….
Pluit, 28 Juli 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar