Lebih
dari 10 tahun lalu, saya beserta dua orang kawan berkunjung ke rumah begawan
sastra Indonesia, (Alm) Pramoedya Ananta Toer. Kala itu, nama beliau masih
menjadi momok bagi pemerintah, meski di luar negeri, karya-karya beliau telah banyak
mendapatkan penghargaan.
"Yah
beginilah kondisi saya," keluh Pak Pram. Ia berbaring lemah di tempat tidur.
setelah kecapaian membakar sampah, sastrawan yang akrab dipanggil Papi oleh tetangganya
ini, meminta wawancara dilakukan dikamarnya yang terletak di lantai dua.
Sebelum
memulai percakapan, beliau meminta kami bertiga berbagi tugas memijat kedua
tangan dan kakinya. Permintaannya ini tentu bukan masalah bagi kami, karena
kapan lagi bisa memijat seorang sastrawan kelas dunia yang begitu kami kagumi
sepak terjangnya.
Kisah
hidup Pak Pram, bagi kami adalah sebuah kisah sastra tersendiri yang penuh
dengan kegetiran dan kesatiran. Asyiknya lagi, kisahnya dituturkan langsung
dari mulut sang maestro. Sehingga kami kerap bingung mau bertanya apa, saking terpesonanya
– tentu dengan tangan kedua tangan masing-masing yang sibuk memijat.
Beliau
menceritakan kegetirannya saat Soeharto mendapat Supersemar dan merebut
kekuasaan. Bukan hanya karena rumahnya yang terletak di Menteng di rebut paksa,
tapi juga karena ribuan koleksi bukunya di bakar oleh tentara tepat di depan
mata.
Ketika
dituduh sebagai antek PKI pun, beliau tidak peduli bila memang harus terpasung
dan melakukan kerja paksa. Yang paling menyiksanya adalah karena harus berhenti
berkarya dan dipenjara semena-mena tanpa boleh membaca.
“Dulu,
saat (Alm) Jend. Soemitro mengunjungi saya. Beliau pernah berjanji akan
membawakan buku-buku untuk saya. Tapi buku-buku itu tidak pernah sampai ke
tangan saya, karena saya dengar telah dibakar oleh para sipir penjara,”
kenangnya.
“Buku-buku
saya menyimpan banyak catatan sejarah,” terangnya. Bagi Pak Pram, buku adalah
segalanya. Ini terlihat langsung saat kami melewati ruang kerja dan lorong
menuju kamar tidurnya di lantai dua. Mami (istri Pram) memang tak mengantar, karena
sibuk di dapur. Ia hanya menunjukkan tangga dan arah yang harus lewati.
Ruang
kerjanya cukup besar, lemari kaca menutupi tiga sisi dinding dengan buku-buku
yang berjajar rapat di dalamnya. Di meja kerjanya, ada sebuah mesin tik tua dengan
tumpukan kertas. Saat melewati lorong menuju kamar, kami juga ternganga melihat
rak kaca menutupi dinding atas yang dipenuhi buku. Memasuki kamar Pak Pram,
lagi-lagi rak kaca dan tumpukan buku mendominasi. Beberapa diantaranya
terhampar di ranjang.
"Seorang
penulis harus mampu dan kuat dalam melakukan riset," sarannya. Hingga
kini, saran itu saya patri betul di otak. Menurutnya, semua yang digoretkan di
setiap novelnya adalah hasil kerja keras mengobrak abrik buku sejarah dan
koran-koran lama di perpustakaan.
Saat
membuat buku tentang Boven Digul, Pak Pram mengaku bolak balik ke perpustakaan
nasional untuk membaca berita-berita yang berkaitan dengan wilayah dan peristiwa
yang ingin diangkatnya. Bagi Pak Pram, seorang penulis harus memahami betul
peristiwa-peristiwa yang diangkat untuk novelnya. Bahkan, data korban di
buku-bukunya merupakan data yang akurat dengan sumber yang jelas.
Menurutnya,
riset adalah kunci terpenting bagi seorang penulis, bahkan penulis fiksi
sekalipun. Sebab dengan kekuatan riset, penulis dapat mengisahkan ceritanya
menjadi lebih realistis dan terasa dekat dengan pembacanya. Sehingga pembaca
akan merasa ikut terlibat di dalam peristiwa tersebut.
Kekuatan
riset, baik melalui data, observasi, maupun wawancara, akan sangat memperkaya
tulisan. Tulisan kita tak hanya sekedar bercerita, tapi juga memberikan makna
dan arti tersendiri bagi pembacanya. Bagaimana si penulis mengolah fakta
tersebut menjadi lebih dipahami dan bisa dinikmati pembaca, tentu itu
membutuhkan kejelian si penulis. Selamat menulis!
Rahmi, beruntung bisa bertemu beliau. Semangat untuk terus menulis :)
BalasHapus