Kamis, 29 September 2016

Film DeepWater Horizon

Setiap Orang Bisa Jadi Pahlawan

Di setiap musibah atau ketika setiap orang terancam jiwanya, kita akan selalu menemukan orang-orang yang dengan sukarela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang lain. Sikap kepahlawanan terbukti ada di setiap hati manusia, semua tergantung apakah kita bersedia melakukannya.

Meledaknya kilang pengeboran minyak laut lepas DeepWater Horizon pada tahun 2010, tercatat sebagai musibah terburuk dalam sejarah perminyakan Amerika. Kilang yang letaknya di Macondo, Teluk Meksiko ini, gagal mencegah terjadinya kebocoran gas yang memicu timbulnya ledakan, sehingga mengakibatkan 11 jiwa melayang dan tercemarnya perairan Teluk Meksiko selama beberapa tahun.

Lionsgate Studio melalui sutradara Peter Berg menggarap kisah nyata penyelamatan jiwa ini ke film yang judulnya sama dengan nama kilang tersebut. Film humanis ini dibintangi aktor Mark Wahlberg, Kurt Russel, John Malkovich, Gina Rodriguez, Dylan O’Brien, dan Kate Hudson.

Mike Williams (Mark Wahlberg) merupakan salah satu kru di kilang pengeboran minyak DeepWater Horizon. Pada 20 April 2010 merupakan hari pertamanya kembali bertugas di laut lepas, begitu juga dengan atasannya Jimmy Harrel (Kurt Russel) serta rekan kerjanya, Andrea Fleytas (Gina Rodriguez).

Sejak awal bertugas kembali, Jimmy sudah dihadapkan dengan kenyataan pahit akan pembatalan pengujian semen yang seharusnya dilakukan. Pihak British Petroleum (BP) sebagai perusahaan pemilik sumur minyak, berasumsi bahwa semua baik-baik saja dan berupaya mengejar keterlambatan jadwal agar biaya tidak terlalu membengkak.

Isu lemahnya standar keselamatan fasilitas kilang memang sudah dihadirkan sejak awal, konflik yang terjadi pun umumnya bermuara pada perbedaan pendapat mengenai standar dan prosedur keselamatan antara Jimmy, pemimpin Tim DeepWater Horizon, dengan Donald Vidrine (John Malkovich) sebagai wakil perusahaan BP.

Upaya Vildrine yang memangkas prosedur dan keselamatan kerja, pada akhirnya mengakibatkan bencana yang membuat BP kehilangan lebih banyak lagi aset dan biaya. Dalam laporan penyelidikan, diketahui bahwa rusaknya sistem peringatan kilang menjadi salah satu penyebab tidak dapat diantisipasinya kebocoran gas yang menjadi pemicu ledakan.

Di saat genting, Jimmy dan Mike berusaha menghentikan kebakaran dengan melakukan upaya terakhir, yaitu menutup pintu darurat sumur di dasar laut. Namun tindakan ini tidak membuahkan hasil, karena pintu tersebut tidak mampu menutup dan menahan semburan lumpur serta gas yang begitu kuat dari dasar bumi. Sehingga jalan satu-satunya adalah berupaya menyelamatkan diri dari kobaran api yang perlahan-lahan meruntuhkan kilang.

Bagi masyarakat awam, penyebab dari ledakan ini mungkin agak membingungkan. Begitu juga dengan berbagai istilah teknis yang beberapa kali muncul. Di sinilah kejelian sutradara dan penulis skenarionya bermain. Di awal film sengaja diselipkan ilustrasi sederhana mengenai cara kerja kilang pengeboran minyak melalui percobaan sekolah yang dilakukan putri Mike.

Pengambilan gambar kilang pengeboran yang begitu detail, penggambaran kobaran serta ledakan api yang begitu nyata, mampu membuat penonton terpaku dan terkesima seakan ikut merasakan apa yang terjadi kala itu. Beberapa adegan yang sangat “manusiawi” juga berhasil menggelitik rasa haru penonton. Tak heran bila diberbagai review, DeepWater Horizon mendapat penilaian yang cukup tinggi sebagai film wajib tonton.  

Senin, 19 September 2016

Novel Setelah 17 Tahun : Kekerasan Verbal Lebih Sering Dilakukan Orang Berpendidikan Tinggi



Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, hampir 90 persen anak Indonesia mengalami kekerasan verbal baik dari keluarga maupun lingkungannya. Kekerasan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan psikis yang dilakukan melalui perkataan yang bersifat negatif dan menjatuhkan mental seseorang.

Kekerasan psikis seperti kekerasan verbal, sangat sulit dibuktikan walaupun dampaknya pada korban sama besar dengan kekerasan fisik. “Seorang anak yang mengalami kekerasan verbal di keluarganya, biasanya akan tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepercayaan diri rendah,” terang psikolog Joice Manurung, C.Ht, Cha.

Kekerasan verbal atau verbal abuse, lanjut Joice, juga dapat dilakukan oleh suami atau istri. Biasanya, kekerasan verbal ini dilakukan sebagai cara untuk memperlihatkan kekuasaan. “Perkataan yang diucapkan pun tidak selalu bersifat kasar, bisa jadi secara halus namun efeknya menjatuhkan mental. Oleh karena itu, umumnya pelaku kekerasan verbal adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.”

Psikolog yang juga konsultan dan terapis ini, tampil sebagai pembicara dalam acara peluncuran buku “Setelah 17 Tahun” karya Noorca M. Massardi pada Sabtu, 17 September lalu. Dalam novel ketujuhnya, wartawan senior yang juga sastrawan ini mengangkat sebuah kisah nyata mengenai seorang wanita yang berani bersikap setelah 17 tahun terperangkap dalam pernikahan penuh kekerasan verbal yang dilakukan suaminya.

Menikah, ternyata tak menjadikan Putri Maulida – tokoh utama di novel ini, keluar dari jeratan kekerasan verbal yang sebelumnya dilakukan oleh kakak laki-lakinya sendiri. Hinaan dan celaan kakaknya, menjadikan Putri tumbuh menjadi wanita yang rendah diri. Kondisi ini diperparah dengan sikap kedua orangtuanya yang kurang perhatian karena sibuk bekerja.

Suaminya, Alfian, ternyata tak lebih baik dari sang kakak. Selama 17 tahun, Putri berusaha menahan semua penderitaan batin tanpa dapat berbuat apa-apa. Namun ketika sikap suaminya tidak juga berubah setelah anak-anak lahir, dan saat sikap suaminya mulai mempengaruhi kejiwaan anak-anaknya, pada saat itulah akhirnya Putri memantapkan sikapnya untuk bercerai.

Novel psikologis ini ditulis layaknya catatan harian yang berisi tumpahan perasaan sang tokoh. Dalam buku ini, Noorca menggugah pembaca untuk ikut merasakan dilema yang dialami oleh tokoh utamanya. Bagaimana perang batin yang dialami Putri untuk terus bertahan hingga 17 tahun. Sebuah kisah yang menyentuh dan diharapkan dapat membuka mata hati dan inspirasi pembacanya untuk ikut menghentikan kekerasan verbal. 

(Foto dok: Rayni Massardi)


Jumat, 20 Desember 2013

Omar Dhani in My Memory

Saat mendengar berita berpulangnya Mantan Laksamana Angkatan Udara Omar Dhani, saya langsung terkenang akan kesempatan bertemu beliau di rumahnya, di daerah Santa, Mampang. 

Rumah itu dari luar terkesan biasa saja, tapi begitu kami (saya, Gasrul, Darto dan Alm. Bang Nuku Sulaeman) memasuki ruang tamunya, foto lukisan Bung Karno hampir memenuhi dinding menyita perhatian. Bukan itu saja, di meja sudut pun foto-foto Bung Karno bersama almarhum begitu mendominasi. Bisa saya simpulkan, beliau benar-benar seorang Soekarnois sejati. 

Kami disambut oleh salah seorang putrinya - yang kata Darto cantik, duduk di salah satu sofa di ruangan itu. Sementara Pak Omar Dhani ketika itu (sekitar tahun 1998) terlihat tertatih mendatangi kami. Perawakan beliau kurus dengan kulit putih berkeriput, rambut yang hampir memutih semua, serta pipi cekung dengan mata yang seakan lelah.

"Saya tidak mau diwawancara," katanya, sambil menunjuk saya yang memegang rekorder. "Kalau pun saya mau bercerita, semuanya off the record," tukasnya lagi, tegas. Maka saya pun berusaha menyembunyikan rekorder di bawah meja dengan sembunyi-sembunyi memencet tombol 'rekam'. "Kalau bukan karena dia (menunjuk ke Bang Nuku), saya pasti tidak mau menemui kalian," ketusnya lagi.

Meski berkali-kali menatap curiga pada saya yang tangannya memegang rekorder di bawah meja, beliau pun menceritakan kisahnya selama di penjara. Sayangnya, suara Pak Omar Dhani begitu lemah dan lembut sekali - benar-benar tipikal orang Jawa, sehingga rekorder saya seakan menyerah untuk merekam suaranya. Kasetnya benar-benar sulit untuk di dengar. Mungkin beliau juga telah mengantisipasi kenakalan saya, sehingga suaranya dikecilkan sedemikian rupa. 

Tapi ada beberapa hal yang bisa saya ingat dari perbincangan dengan beliau, intinya beliau tetap merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan rezim Soeharto padanya. Menurut Pak Omar, beliau ada di Halim karena mendapat telepon langsung dari Bung Karno yang memintanya menerbangkan beliau. 

"Sebagai seorang Laksamana, saya harus patuh pada perintah atasan, apalagi oleh Panglima Besar. Kalau saya menolak perintah, itu malah salah," kira-kira begitulah yang beliau katakan. Menurutnya, saat itu tengah malam dan beliau tidak mendapatkan penjelasan apapun tentang apa yang tengah terjadi. Jadi tak heran bila Pak Omar tetap berkeras kalau dirinya tak ada hubungan apapun dan tidak bersalah atas peristiwa G 30 S, meski harus divonis hukuman mati sekalipun. 

Selain itu saya agak lupa dan statusnya pun tetap off the record, yang pasti, Pak Omar pernah berkata ingin mengisahkan peristiwa yang sebenarnya di buku putih Angkatan Udara. Waktu itu saya sempat lihat bukunya, beliau telah memiliki draf-nya, katanya tinggal di cetak. Beliau juga mengatakan ingin membersihkan namanya, entah apakah itu kesampaian atau tidak.

Tapi dari semua yang beliau sampaikan kepada kami, yang paling menyentuh saya adalah beliau tidak merasa sakit hati atas apa yang telah ditimpakan padanya. Mendekam selama berpuluh tahun di penjara dan tetap bersyukur mendapat kesempatan untuk menghirup kehidupan bebas di usia senja. 

Kini beliau juga telah lepas dari penjara dunia, selamat jalan Pak Omar Dhani, pertemuan dengan Anda termasuk sebuah kenangan historis tersendiri dalam hidup saya. Semoga Allah SWT membalas ketulusan hatinya, aamiin. 

Satu adegan kecil yang tak bisa dilupa, adalah saat Gasrul tiba-tiba bangun dan pergi ke belakang rumah di tengah-tengah cerita Pak Omar. Kami semua kaget melihat tingkahnya, terutama saat Pak Omar yang langsung menunjuknya dan berteriak “Hey! Kamu mau kemana?!”

Ternyata Gasrul mau ke kamar kecil, tapi entah mengapa ia tidak ijin dulu tapi malah ngeluyur ke belakang. “Memangnya kamu tau kamar mandinya di mana?! Tanya dulu, jangan main nyelonong masuk saja!” bentak Pak Omar, sementara saya dan Darto hampir tak bisa menahan tawa.

Tak hanya bentakan Pak Omar, Gasrul pun mendapat pelototan marah Bang Nuku. Saat pulang, Bang Nuku memarahi Gasrul karena berlaku tak sopan di rumah seorang priyayi. “Beliau itu bangsawan, kamu orang Jawa tapi kok ga ada sopan santunnya,” begitu kira-kira omelan Bang Nuku. 

Tapi saya akui keberuntungan Gasrul, karena dia jadi bisa tur melihat-lihat rumah Pak Omar. Soalnya kamar mandinya ternyata ada di lantai dua, meskipun Pak Omar menyuruhnya menunggu putrinya mengantar, tapi Cah Badung itu tetap saja ngeluyur sendiri naik ke lantai dua. Membuat Pak Omar dan kami semua geleng-geleng kepala…. 



Pluit, 28 Juli 09

Minggu, 07 April 2013

Belajar Dari Sang Maestro


Lebih dari 10 tahun lalu, saya beserta dua orang kawan berkunjung ke rumah begawan sastra Indonesia, (Alm) Pramoedya Ananta Toer. Kala itu, nama beliau masih menjadi momok bagi pemerintah, meski di luar negeri, karya-karya beliau telah banyak mendapatkan penghargaan.

"Yah beginilah kondisi saya," keluh Pak Pram. Ia berbaring lemah di tempat tidur. setelah kecapaian membakar sampah, sastrawan yang akrab dipanggil Papi oleh tetangganya ini, meminta wawancara dilakukan dikamarnya yang terletak di lantai dua.

Sebelum memulai percakapan, beliau meminta kami bertiga berbagi tugas memijat kedua tangan dan kakinya. Permintaannya ini tentu bukan masalah bagi kami, karena kapan lagi bisa memijat seorang sastrawan kelas dunia yang begitu kami kagumi sepak terjangnya.

Kisah hidup Pak Pram, bagi kami adalah sebuah kisah sastra tersendiri yang penuh dengan kegetiran dan kesatiran. Asyiknya lagi, kisahnya dituturkan langsung dari mulut sang maestro. Sehingga kami kerap bingung mau bertanya apa, saking terpesonanya – tentu dengan tangan kedua tangan masing-masing yang sibuk memijat.

Beliau menceritakan kegetirannya saat Soeharto mendapat Supersemar dan merebut kekuasaan. Bukan hanya karena rumahnya yang terletak di Menteng di rebut paksa, tapi juga karena ribuan koleksi bukunya di bakar oleh tentara tepat di depan mata.

Ketika dituduh sebagai antek PKI pun, beliau tidak peduli bila memang harus terpasung dan melakukan kerja paksa. Yang paling menyiksanya adalah karena harus berhenti berkarya dan dipenjara semena-mena tanpa boleh membaca.

“Dulu, saat (Alm) Jend. Soemitro mengunjungi saya. Beliau pernah berjanji akan membawakan buku-buku untuk saya. Tapi buku-buku itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena saya dengar telah dibakar oleh para sipir penjara,” kenangnya.

“Buku-buku saya menyimpan banyak catatan sejarah,” terangnya. Bagi Pak Pram, buku adalah segalanya. Ini terlihat langsung saat kami melewati ruang kerja dan lorong menuju kamar tidurnya di lantai dua. Mami (istri Pram) memang tak mengantar, karena sibuk di dapur. Ia hanya menunjukkan tangga dan arah yang harus lewati.

Ruang kerjanya cukup besar, lemari kaca menutupi tiga sisi dinding dengan buku-buku yang berjajar rapat di dalamnya. Di meja kerjanya, ada sebuah mesin tik tua dengan tumpukan kertas. Saat melewati lorong menuju kamar, kami juga ternganga melihat rak kaca menutupi dinding atas yang dipenuhi buku. Memasuki kamar Pak Pram, lagi-lagi rak kaca dan tumpukan buku mendominasi. Beberapa diantaranya terhampar di ranjang.

"Seorang penulis harus mampu dan kuat dalam melakukan riset," sarannya. Hingga kini, saran itu saya patri betul di otak. Menurutnya, semua yang digoretkan di setiap novelnya adalah hasil kerja keras mengobrak abrik buku sejarah dan koran-koran lama di perpustakaan.

Saat membuat buku tentang Boven Digul, Pak Pram mengaku bolak balik ke perpustakaan nasional untuk membaca berita-berita yang berkaitan dengan wilayah dan peristiwa yang ingin diangkatnya. Bagi Pak Pram, seorang penulis harus memahami betul peristiwa-peristiwa yang diangkat untuk novelnya. Bahkan, data korban di buku-bukunya merupakan data yang akurat dengan sumber yang jelas.

Menurutnya, riset adalah kunci terpenting bagi seorang penulis, bahkan penulis fiksi sekalipun. Sebab dengan kekuatan riset, penulis dapat mengisahkan ceritanya menjadi lebih realistis dan terasa dekat dengan pembacanya. Sehingga pembaca akan merasa ikut terlibat di dalam peristiwa tersebut.

Kekuatan riset, baik melalui data, observasi, maupun wawancara, akan sangat memperkaya tulisan. Tulisan kita tak hanya sekedar bercerita, tapi juga memberikan makna dan arti tersendiri bagi pembacanya. Bagaimana si penulis mengolah fakta tersebut menjadi lebih dipahami dan bisa dinikmati pembaca, tentu itu membutuhkan kejelian si penulis. Selamat menulis!

Minggu, 24 Maret 2013

Ayo Mulai Bergerak


Kepergian presenter sepakbola dan penyanyi idola saya di Emerald Band, memang cukup mengejutkan. Peristiwa wafatnya mengingatkan kita pada ‘kepulangan’ Adjie Massaid dulu. Tapi berhubung saya tidak terlalu ngefans sama mantan suami Angelina Sondakh, geliat untuk menuliskan sesuatu tentang serangan jantung di usia muda baru saat ini munculnya.

Sebenarnya sih, media pasti sudah berlomba-lomba menuliskan berbagai hal tentang almarhum dan penyebab meninggalnya. Tanpa berniat ikut-ikutan, saya hanya ingin mengingatkan kembali pada kita semua untuk mulai mengkritisi gaya hidup yang dilakukan, dengan kemungkinan mendapatkan serangan jantung mendadak.

Tak diragukan lagi, gaya dan pola hidup sebagian besar generasi muda saat ini sudah agak menyimpang dari pola yang dianggap sehat. Merokok, mengkonsumsi alkohol, makan makanan yang kurang sehat (junk food) dan berlemak, serta kebiasaan begadang hingga tengah malam – seperti yang saya lakukan saat ini – sangat berisiko menimbulkan serangan penyakit, salah satunya penyakit jantung.

Dari bahan yang saya dapat di Milis Wartawan Kesehatan, yaitu berdasarkan postingan dr. Ari Syam dari FKUI, diketahui bahwa serangan jantung mendadak di usia muda, sebagian besar disebabkan oleh adanya penyempitan pembuluh jantung. Penyempitan ini prosesnya cukup panjang, hanya saja, kita kerap tidak merasakan dan menganggap serius gejala-gejala yang ada.

Bagi yang pernah merasakan sakit ulu hati, sesak napas (bukan asma), rasa nyeri di dada kiri yang menjalar hingga ke tangan kiri, harus mulai waspada. Gejala ini akan semakin terpicu bila kita berada dalam kondisi stres atau kurang tidur. Bahkan dr. Ari meyakini bahwa serangan jantung yang dialami almarhum Ricky Jo bisa dihubungkan dengan masih tertekannya beliau atas kepergian ayahnya bulan lalu.

Rajin berolahraga, juga tidak menjamin kita terbebas dari serangan jantung bila kadar kolesterol di dalam darah tinggi. Karena itu ada baiknya kita mulai mengontrol tekanan darah, menjaga berat tubuh agar tidak kegemukan, periksa kadar gula (terutama yang punya riwayat Diabetes), kalau perlu melakukan treadmill yang dibarengi dengan pengukuran aktivitas jantung.

Cara yang sederhana lagi, ya tentu dengan melakukan pola hidup dan pola makan yang sehat. Tidak perlu berpantang makanan yang lemak, namun usahakan untuk lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah-buahan. Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol dan kopi, serta begadang (ini buat aku juga), serta melakukan pemanasan dan kontrol jantung dengan berolahraga rutin.

Kesadaran masalah kesehatan ternyata penting lho saat ini, sebab kita tanpa sadar kerap dihadapkan dengan situasi yang penuh dengan tekanan tinggi. Baik dari internal, seperti masalah pekerjaan dan rumah tangga, hingga masalah eksternal kayak kemacetan jalan Jakarta yang sudah uedan-uedanan sekarang ini.

Hidup terlalu panjang memang menyusahkan, tapi meninggal terlalu dini akibat kesalahan kita sendiri, lebih rugi lagi. Selain masih banyak yang mungkin bisa kita lakukan, keluarga seperti istri dan anak-anak pun tentu tak mau terlalu cepat kehilangan. Urusan hidup memang takdir Tuhan, tapi ada baiknya sebagai manusia kita menghargai hidup yang diberikan saat ini melalui pola hidup yang sehat. Ayo mulai bergerak...

 

Selasa, 19 Maret 2013

Upacara Erau Pelas Benua Guntung

Pertama kali datang ke Bontang, Kalimantan Timur, semangat ingin tahu masih sangat menggebu-gebu. Jadi walaupun kepala masih diperban akibat bocor setelah terpelanting dari sepeda, saya tetap semangat saat diajak meliput upacara Erau Pelas Benua Guntung. Mengapa dibelakangnya ditambah kata “Guntung”? Ini menunjukkan perbedaan wilayah dengan Erau Pelas Benua provinsi yang setiap tahunnya dilakukan oleh Kesultanan Kutai di Tenggarong.

Guntung merupakan satu-satunya bagian Kota Bontang yang sebagian besar warganya masih keturunan Kutai. Letaknya pun didekat perbatasan wilayah Kutai Timur. Namun seiring perkembangan, wilayah ini mulai bercampur dengan suku-suku lainnya, baik dari Kalimantan maupun luar Kalimantan. Tak heran kalau di Bontang, upacara Erau hanya diadakan di Guntung setiap tahunnya.

Erau berasal dari kata Eroh, yaitu ramai dan penuh suka cita. Pelas berarti membersihkan wilayah mereka dari unsur-unsur negatif. Caranya dengan melakukan penyembelihan binatang yang kemudian darahnya dipercikan ke permukaan bumi, sebagai tanda syukur atas rejeki yang diberikan oleh Maha Pencipta. Karena itu pelaksanaannya biasanya dilakukan setelah panen.

Saat memasuki wilayah upacara, wangi dupa sudah mendominasi lapangan. Setelah mengadakan upacara penyambutan dan pidato dari perwakilan Kesultanan Kutai, upacara dimulai dengan melakukan tarian pemanggil Dewa di panggung upacara yang telah dipenuhi sesajen berupa hasil panen warga. Di tengahnya, duduk seorang dukun pada singgasana berhias janur kuning kelapa. Setelah membaca mantra, sang dukun terlihat ‘kerasukan’ lalu mengajak para undangan untuk berkeliling menari Tarian Dewata.

Sesudahnya, semua penari ikut mengawal sang dukun membacakan mantra disebilah batang pisang yang dibungkus seperti mayat. Bilah itu lalu diikatkan di tiang upacara dan tetap di sana selama upacara berlangsung. Konon kabarnya, tiang itu dapat bergerak sendiri karena telah dimasuki roh Dewata untuk merestui kegiatan ini.

Sebagai ‘orang luar’ upacara ini sangat menarik, sebab tak hanya menampilkan tarian khas Dayak dan Kutai, tapi juga ada ritual penyalaan obor dari bambu yang sangat panjang, lalu atraksi menyumpit dari bambu panjang kecil yang merupakan keahlian masyarakat Dayak pada umumnya.

Hebohnya lagi, diakhir upacara para peserta akan disiram air dari dua mobil pemadam. Kalau saja saya tidak diingatkan teman, mungkin saya akan pulang basah kuyup akibat semprotan air dari dua sisi panggung. Menurutnya, seharusnya semua tamu ikut berbasah-basah sebagai simbol pembersihan diri dari unsur negatif. 

Tapi berhubung bocor di kepala saya masih terbuka, tentu mengganti perban yang basah kuyup ke rumah sakit akan menjadi tontonan tersendiri. Setidaknya, saat itu saya sudah merasa bahagia karena bisa menyaksikan salah satu upacara masyarakat Kutai yang hampir punah.

Senin, 18 Maret 2013

Legenda & Mitologi Bontang: Tempat Singgah Para Pengembara


Terbentuknya Kota Bontang, Kalimantan Timur, tak luput dari legenda maupun mitologi yang hingga kini masih diragukan kesahihannya.

Bontang Kuala
Kisah awal mula Bontang dan perjalanan sejarahnya, hingga kini masih terus dikaji dan dikumpulkan oleh para ahli. Begitu juga nama Bontang yang konon disebut sebagai Bintalu dalam kitab silsilah dan kronologis perjalanan sejarah Raja-raja Kutai Kartanegara. Kitab tersebut menceritakan silsilah raja-raja dari zaman Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti, hingga raja yang terakhir, yaitu Raja Aji Sultan Muhammad Parikesit.

Dalam kitab yang ditulis dalam huruf Arab Melayu itu, menyebutkan kekuasaan Raja Kutai Kartanegara. Antara lain Bintalu (Bontang), Sembaran (Sambera), Penyuangan, Senawan, Sangsangan (Sanga-sanga), Kembang Sambaran, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang, Tanah Malang, Pulau Atas, Karang Asam, Karang Mumus, Mangku Palas, Loa Bakung, Sembuyutan (Sambutan), dan Manggar (kini wilayah Balikpapan).

Masih belum jelas apakah pada masa itu Bintalu merupakan desa atau daerah vasal. Tapi jika pada masa itu Bintalu disebut-sebut dalam Kitab, maka pastilah daerah tersebut merupakan wilayah penting bagi Kerajaan Kutai Kartanegara. “Belum bisa dipastikan benar apakah Bintalu yang dimaksud adalah Bontang, karena kami masih melakukan pengkajian,” jelas Yusran Thaiyib, Wakil Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) yang kerap mengadakan seminar dan mendatangkan ahli-ahli sejarah Kalimantan untuk mengumpulkan informasi mengenai sejarah Bontang.

Tapi, jika pada masa kekuasaan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti wilayah yang dimaksud Bintalu tersebut adalah Bontang dan masuk dalam salah satu wilayah kekuasaan Kutai Kartanegara, maka dapat diperkirakan kalau sekitar abad ke-13, perkampungan Bontang Kuala sudah mulai terbentuk .

Terlepas dari etnologis nama Bontang, ada satu catatan sejarah tradisional yang selama ini tersebar luas di masyarakat Bontang Kuala secara turun temurun, yaitu bahwa Bontang sebenarnya didirikan oleh Suku Laut (Suku Bajau) yang kemudian menetap di salah satu muara sungai yang kini disebut Bontang Kuala.

Rumah tertua di Bontang
Berdasar cerita mitologi para orangtua di perkampungan Bontang Kuala, dikisahkan bahwa Suku Bajau sebenarnya memiliki kerajaan tersendiri yang pusat pemerintahannya di daerah Sabah, Malaysia Timur.

Alkisah, seorang Putra Mahkota Raja Bajau bersyiar dengan menggunakan kapal layar menyusuri Laut Cina Selatan. Naas, saat tengah berlayar tiba-tiba badai datang menerjang dan menggulung kapal tersebut. Akibatnya, putra semata wayang Raja Bajau pun hilang di tengah lautan.

Mendengar kenyataan pahit ini, Sang Raja kemudian memerintahkan seluruh anak negeri, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, untuk berlayar ke Laut Cina Selatan mencari Sang Putra Mahkota. Jika tak berhasil menemukannya, dalam keadaan hidup atau mati, maka para pencari tersebut dilarang pulang. Bila ada yang berani pulang tanpa membawa hasil, maka Raja mengancam akan memberikan hukuman mati.

Tahun demi tahun para pencari berlayar mengarungi Laut Cina Selatan, mencari Sang Putra Mahkota. Namun pengembaraan mereka tak jua mendapatkan hasil. Kepatuhan mereka akan amanat Raja dan rasa takut akan ancaman hukuman mati, membuat para pencari tidak berani kembali ke kampung halamannya.

Maka warga Suku Bajau tersebut pun merantau dan menyebar luas ke berbagai pelosok lautan luas, terutama di perairan Samudera Pasifik. Salah satu dari mereka, terus mengembara menyusuri Selat Makassar dan singgah di pesisir Kalimantan Timur, lalu membentuk koloni perkampungan Suku Bajau di Bontang Kuala. Perkampungan inilah, yang konon menjadi cikal bakal berdirinya Bontang.

Meski hingga kini belum ada kajian ilmiah yang secara pasti merumuskan teori tentang asal usul munculnya istilah Bontang. Namun dari segi antropologis, sebenarnya beberapa daerah di Kalimantan Timur sering menggunakan nama sukunya untuk menamai tempat tinggal mereka, misalnya Suku Tidung yang tinggal di daerah Tidung, Suku Kali yang tinggal di daerah Longkali, atau Suku Kayan yang tinggal di Sungai Kayan, dan masih banyak lagi. Tetapi anehnya, Bontang dijadikan nama daerah walau tak ada satu pun suku yang bernama Suku Bontang. 

Kota Bontang
Kini setelah memasuki milenium ketiga, Bontang mulai bersolek diri untuk meraih predikat sebagai “Bintang Timur Pulau Kalimantan”. Dalam kurun dua puluh tahun pembangunan, Kota Bontang telah mampu membuktikan filosofi kota yang beradab. Berdirinya gedung-gedung perusahaan multinasional dan deretan berbagai fasilitas umum, merupakan bukti bahwa Bontang mampu meraih kejayaan sebagai Bintang Timur yang dapat dibanggakan.

 (Sumber: Makalah Sempekat Keroan Kutai, Bontang)